March 01, 2017

Keistimewaan Kiai Taufiq Pekalongan




PC IPNU KOTA CIMAHI - Empat hari (23-26 Januari 2017) penulis mengikuti perjalanan Anjangsana Islam Nusantara sungguh membahagiakan. Perjalanan dari Jakarta menyusuri pantura hingga Surabaya, Jombang hingga Yogyakarta. Sayangnya, penulis harus berhenti di Surabaya dan kembali ke Jakarta. Rombongan kami 17 orang.

Tidak hanya mengunjungi yang masih hidup, tapi juga yang sudah meninggal. Makam sejumlah tokoh, mulai dari Baing Yusuf di Purwakarta, Mbah Kuwu Sangkan atau Pangeran Cakrabuana-tokoh penting penyebar Islam di Cirebon, Habib Hasyim bin Umar bin Yahya di Pekalongan, dan seterusnya hingga makan Mbah Bisri Mustofa di Rembang dan Mbah Abdullah Faqih di Langitan, Tuban.

Sesepuh-sesepuh NU juga kami datangi untuk mendapat wejangan waskita. Nama-nama terkenal seperti Abah Thohir (Cirebon), Habib Lutfi bin Yahya (Pekalongan), KH Dimyati Rois (Kaliwungu Kendal), KH Ahmad Mustofa Bisri (Rembang), Mbah Maimoen Zubair (Sarang Rembang) kami datangi satu per satu. Banyak sekali cerita yang ingin kami tulis. Pada saatnya.

Penulis ingin mengawali cerita kecil pada kunjungan ke KH Taufiq, Pengasuh Pesantren At-Taufiqy Rowokembu, Wonopringgo, Pekalongan, Jawa Tengah. Pesantren ini dikunjungi Presiden Jokowi beberapa minggu lalu ketika Presiden menghadiri acara Maulid Akbar bersama Jamaah Kanzus Sholawat yang dipimpin Habib Luthfi bin Yahya.

Penulis tertarik menceritakan Kiai Taufiq karena sosok ini tidak seperti sosok-sosok kiai lain yang sering diberitakan media. Mungkin masyarakat juga tidak banyak yang tahu wajah Kiai Taufiq, karena memang beliau tidak terlalu suka di foto. Bahkan, salah satu pimpinan rombongan kegiatan Anjangsana Mas Zastrouw Ngatawi yang sudah cukup kenal dengan Kiai Taufiq sudah mewanti-wanti agar tidak mengambil gambar Kiai Taufiq. Benar saja, diantara kami tidak ada yang berani mengambil gambar. Konon, beliau juga tidak berkenan foto berdua dengan Presiden Jokowi ketika berkunjung.

Sekitar pukul 10.30 WIB kami memasuki gang tidak terlalu besar menuju kediaman sekaligus pesantren beliau. Langkah kami tertahan. Kebetulan, setiap hari Selasa beliau memberi pengajian khusus untuk perempuan. Esok harinya, Rabu, khusus untuk jamaah laki-laki. Hampir di semua mulut gang penuh jamaah perempuan. Bukan hanya gang yang penulis lalui, tetapi juga semua gang yang menghubungkan jalan raya ke rumah beliau dipenuhi jamaah yang berjajar rapi. Emperan rumah-rumah warga juga hampir semua penuh. Ribuan orang.

Atas kebaikan seseorang yang tampaknya sudah akrab dengan Mas Zastrouw, kami diajak menunggu di teras masjid. Sekitar 15 menit kami duduk, dari pengeras suara yang berjajar di setiap sudut gang, suara lirih Kiai Taufiq mulai terdengar memimpin doa.

Begitu doa selesai, jamaah yang semua perempuan itu keluar melalui setiap mulut gang. Kami mengamati setiap jamaah yang keluar di samping masjid tempat kami duduk. Ribuan orang keluar mengantri. “Ini jamaah kok gak habis-habis dari tadi,” celetuk sahabat penulis Abdul Moqsith Ghazali yang duduk di sebelah penulis.

Setelah jamaah agak sepi, salah satu putra Kiai Taufiq menghampiri kami di serambi masjid. Sekitar 400 meter kami berjalan menuju komplek pesantren. Penulis mengamati kanan kiri komplek pesantren. Penulis menemukan aura yang agak berbeda. Jika selama ini pesantren dikesankan sebagai tempat yang kumuh dan kotor, pesantren ini sangat bersih.

Kami diarahkan menunggu di sebuah ruangan dalam gedung berlantai 2 yang bersih. Begitu kami masuk ruangan, seorang santri segera menuju ke tempat kami melepas sandal dan sepatu. Dia merapikan sandal dan sepatu yang kami lepas sembarangan. Arahnya pun di balik, sehingga begitu keluar ruangan tamu tinggal memakai. Sambil menunggu Kiai Taufiq, penulis menuju ke toilet. Penulis surprise, ternyata toiletnya sangat bersih. Ada santri yang menjaga dan membersihkan setiap toilet selesai digunakan.

Sekitar 10 menit kami menunggu. Datanglah seorang kiai dengan wajah bersih, teduh dan penuh senyum. Kami pun berdiri menyambut dan mencium tangannya. Suaranya lirih, tidak menggebu-gebu. Sorot matanya sangat sejuk. “Ini memang sorot mata khas guru tarekat, menyejukkan,” kata sahabat Abdul Moqsith.

Dengan suara yang tidak terlalu keras, beliau banyak cerita tentang guru-gurunya, terutama Kiai Masduqi Lasem. Kiai Masduqi yang pernah berguru di Pesantren Termas termasuk kiai yang sangat mempengaruhi beliau. Cerita soal ini bisa baca: Menelusuri Sanad Keilmuan Islam Nusantara dari KH Taufiq Pekalongan.

Tak terasa, adzan dhuhur mulai berkumandang. Pembicaraan berhenti sebentar. Semula kami menduga, Kiai Taufiq mengajak kami sholat jamaah. Ternyata tidak. Beliau masih mengajak kami mengobrol cerita tentang sanad keilmuannya. Kiai Taufiq juga menceritakan kolom Gus Dur yang ditulis di Majalah Tempo tahun 1980-an yang menceritakan tentang Kiai Masduqi dan Syekh Yasin al-Fadany.

Tibalah saatnya, beliau mengajak kami melihat komplek pesantren yang berada di seberang tempat kami diterima. Wow…luar biasa. Pesantren ini seperti taman kota. Kamar-kamar santri di kelilingi pohon-pohon yang rindang. Bangunan pesantren masih ada yang terbuat dari welet. Semua tertata rapi dan bersih.

Ketika salah seorang teman bertanya: “Kiai, ini yang mendesain siapa kok bisa seperti ini?” “Ya saya sendiri dan para santri”. Bahkan, para santrilah yang membangun ini semua,” kata beliau sambil menunjuk beberapa bangunan.

“Bagaimana kiai mengajarkan semua ini kepada santri, terutama soal kebersihan?” Tanya seorang teman. “Saya tidak pernah mengajarkan dengan kata, tapi dengan perbuatan. Kalau ada sampah, saya ambil sapu. Saya bersihkan. Santri lama-lama mau sendiri dan sapu saya dia rebut,” kata Kiai Taufiq. Dengan cara itu Kiai Taufiq mengajarkan kebersihan kepada sekitar empat ribu santrinya.

Tibalah saatnya makan siang. Kami diajak naik ke lantai 2 gedung tempat kami diterima. Ada hal menarik bagaimana beliau mengajarkan cara makan. “Jangan sampai ada yang tersisa sedikit pun,” kata beliau. Piring Kiai Taufiq bersih seperti habis dicuci. “Tahu ini tugasnya membersihkan semua yang tersisa,” kata beliau sambil memegang seiris tahu dan mengelapkan ke piring beliau. Kami pun akhirnya tengak tengok siapa yang piringnya tidak bersih.

“Kemarin waktu Presiden Jokowi ke sini, menterinya saya ajak makan di sini. Ada menteri yang membersihkan piringnya dengan tisu,” cerita Kiai Taufiq sambil terus membersihkan piringnya dengan tahu. “Beginilah cara kita mensyukuri nikmat Allah. Jangan ada yang dimubadzirkan,” katanya.

Setelah selesai makan, kami segera berpamitan. Atas bisikan Mas Zastrouw, kami ingin sekali bisa foto bersama. Beruntung, beliau kerso difoto meskipun Mas Zastrouw mewanti-wanti sekali lagi agar foto bersama tersebut tidak dipublikasikan untuk menghormati Kiai Taufiq.

Tak lupa minta doa beliau. Dalam perjalanan pulang menuju jalan raya, seorang teman berseloroh: “Mursyid tarekat tapi santai banget. Ada adzan tidak terburu-buru sholat, tapi memilih menghormati tamunya”.

Itulah cerita kecil saat sowan ke Kiai Taufiq Pekalongan.

Rumadi Ahmad, Ketua Lakpesdam PBNU

Post a Comment

Start typing and press Enter to search